Makalah Seminar Studi Pustaka

PENGARUH KEMASAN PLASTIK PE (Polyethylen) TERHADAP
KUALITAS DAGING SAPI

Oleh :

MUAMAL HAMIDI
I 411 06 032

BAGIAN PRODUKSI TERNAK
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2009

PENGARUH KEMASAN PLASTIK PE (Polyethylen) TERHADAP
KUALITAS DAGING SAPI1

Muamal Hamidi2 Endah Murpiningrum3

ABSTRAK

Daging merupakan salah satu poduk peternakan yang memiliki masa simpan yang pendek. Upaya untuk memperpanjang masa simpan dari daging tersebut salah satunya dengan menggunakan kemasan. Kemasan daging yang populer digunakan yaitu plastik PE (Polyethylen). Makalah ini mempelajari tentang pengaruh kemasan plastik PE (Polyethylen) terhadap kualitas daging sapi. Parameter yang diukur yaitu pH dan susut masak daging. Sampel daging dibagi menjadi 2 perlakuan yaitu tanpa kemasan dan dikemas dengan plastik PE (Polyethylen) lalu diukur pH dan susut masak daging. Sampel yang telah mendapatkan perlakuan dititipkan ke pedagang selama 6 jam lalu diukur pH dan susut masak daging sedangkan penelitian lainnya disimpan pada lemari dingin pada suhu ± 2oC selama 3 hari, 7 hari dan 11 hari lalu diukur pH dan susut masak daging. Hasil yang diperoleh sampel yang disimpan di ruang terbuka, kemasan plastik PE (Polyethylen) dapat menurunkan pH dan susut masak daging sedangkan sampel yang disimpan di suhu dingin diperoleh kemasan plastik PE (Polyethylen) dapat menaikkan pH dan susut masak daging.

Kata Kunci : Kemasan, Daging Sapi, Plastik PE (Polyethylen).

PENDAHULUAN

Setiap bahan makanan mempunyai daya tahan yang terbatas sebelum ia mengalami proses pembusukan khususnya daging. Daging merupakan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Usaha untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas daging dilakukan melalui pengolahan atau penanganan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi kerusakan atau kebusukan selama penyimpanan dan pemasaran. Untuk itu berbagai cara dilakukan untuk mempertahankan daya tahan dari daging. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui aplikasi teknologi pengemasan.
Aplikasi teknologi pengemasan dapat memberikan keuntungan baik produsen maupun konsumen. Keuntungan bagi produsen daging adalah dapat memperpanjang lama penyimpanan produk, menghindari kontaminasi bakteri serta meningkatkan kualitas. Keuntungan bagi konsumen adalah jaminan mutu terhadap produk yang dibeli serta keamanan produk yang dikonsumsi.
Kemasan mempengaruhi kualitas bahan pangan, yakni dengan mengatur sejumlah faktor yang berkaitan dengan pengolahan, penanganan zat yang dapat bereaksi dengan komponen bahan pangan dan penyimpanan. Faktor pengolahan dan penyimpanan yang dapat dikendalikan oleh pengemas, antara lain cahaya, konsentrasi, oksigen, kadar air, pemindahan panas, kontaminasi, dan serangan makhluk hayati. Pengemasan juga diharapkan dapat mengurangi penyimpanan kualitas pH dan susut masak daging.
Kemasan plastik banyak digunakan dengan pertimbangan bahan tersebut mudah dibentuk sesuai dengan keinginan, tidak bersifat korosif (mudah berkarat), tidak memerlukan penanganan khusus. Dalam dunia perdagangan dikenal ada plastik khusus untuk mengemas bahan pangan (food grade) dan plastik untuk mengemas bahan bukan pangan (non-food grade). Oleh karena itu bila akan memilih plastik untuk mengemas bahan dan produk pangan terutama daging maka harus dipilih yang food grade. Plastik PE (Polyethylen) merupakan plastik yang food grade karena mempunyai komposisi kimia yang baik, resisten terhadap lemak dan minyak dan tidak menimbulkan reaksi kimia terhadap daging. Diharapkan dengan menggunakan kemasan plastik PE (Polyethylen) dapat memperpanjang masa simpan daging pada saat penyimpanan dan pemasaran.

PEMBAHASAN

Tinjauan Umum Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005). Menurut Lukman (2008) definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi (edible offals).
Daging adalah salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh manusia, karena zat-zat makanan yang dikandungnya sangat diperlukan untuk kehidupan manusia, terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh. Kandungan zat-zat makanan di dalam daging mudah sekali rusak oleh lingkungan sekitar, oleh karena itu diperlukan penanganan yang baik. Penanganan daging yang baik harus dimulai sejak ternak itu sebelum dipotong, pada saat pemotongan dan setelah pemotongan (Rachmawan, 2001).
Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan stress. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, lemak intramuskuler/marbling, metode penyimpanan dan preversi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno, 2005).
Daging adalah semua bagian tubuh ternak yang dapat dan wajar dimakan termasuk jaringan-jaringan dan organ tubuh bagian dalam seperti hati, ginjal, dan lain-lain. Soeparno (2005) mendefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Dengan didasarkan pada definisi tersebut maka organ-organ dalam (jeroan) dan produk olahan seperti corned termasuk dalam kategori daging. Namun demikian sering dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan daging adalah semata-mata jaringan otot, meskipun benar bahwa komponen utama penyusun daging adalah otot, tetapi tidaklah sama otot dengan daging.
Komponen utama daging adalah lemak, protein, abu dan air. Peningkatan komponen yang satu akan menyebabkan penurunan komponen yang lain. Protein adalah komponen bahan kering yang terbesar dari daging. Daging mempunyai nilai nutrisi tinggi karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Komposisi kimia daging adalah air 75% (65 – 80%); protein 18,5 % (16 – 22%); substansi-substansi non protein yang larut 3,5%; lemak 3% (1,5 – 13%) dan sangat bervariasi. Nilai kalori daging banyak ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam serabut-serabut otot atau dikenal dengan istilah marbling atau intramuskular (Khatimah, 2008).

Pengemasan

Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat dan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya. Adanya kemasan dapat membantu mencegah/mengurangi kerusakan, melindungi bahan yang ada di dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Dari segi promosi kemasan berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli (Dwiari, 2008).
Pengemasan adalah seni ilmu sekaligus teknologi untuk mempersiapkan bahan guna keperluan transportasi dan penjualan (Suyitno dan Kamarijani, 1995). Defenisi ini juga didukung oleh Petrisic (1969) yang menyatakan bahwa pengemasan sebagai suatu usaha untuk menjamin keamanan produk selama pengangkutan dan penyimpanan sehingga dapat sampai ke tangan konsumen dalam kondisi yang baik dengan biaya total minimum dan dapat memberikan proteksi terhadap apa yang dijual sekaligus menjual apa yang dilindungi.
Bahan atau produk pangan bila tidak dikemas dapat mengalami kerusakan akibat serangan binatang (tikus), serangga (kecoa), maupun mikroba (bakteri, kapang dan khamir). Kerusakan bisa terjadi mulai dari bahan pangan sebelum dipanen, setelah dipanen, selama penyimpanan, pada saat transportasi dan distribusi maupun selama penjualan. Adanya mikroba dalam bahan pangan akan mengakibatkan bahan menjadi tidak menarik karena bahan menjadi rusak, terjadi fermentasi atau ditumbuhi oleh kapang. Bakteri yang tumbuh dalam bahan pangan akan mempengaruhi kualitasnya, disamping itu ada kecenderungan menghasilkan senyawa beracun bagi konsumen (manusia), sehingga menimbulkan sakit, bahkan bisa menyebabkan kematian. Industri pangan hendaknya memproduksi bahan pangan yang memiliki kualitas bagus dan aman bila dikonsumsi. Pengemasan bahan pangan ikut berperan dalam menghasilkan produk dengan kualitas baik dan aman bila dikonsumsi (Dwiari, 2008).
Menurut Syarief, dkk (1989) bahwa fungsi pengemasan yakni ; 1) menjaga produk bahan pangan tetap bersih dan merupakan pelindung terhadap kotoran dan kontaminasi lain, 2) melindungi makanan terhadap kerusakan fisik, perubahan kadar air dan penyinaran (cahaya), 3) mempunyai fungsi yang baik, efisien dan ekonomis khususnya selama proses penempatan makanan ke dalam wadah kemasan, 4) mempunyai kemudahan dalam membuka atau menutup dan juga memudahkan dalam tahap penanganan, pengangkutan dan distribusi. Penentuan fungsi perlindungan dari pengemasan, perlu mempertimbangkan aspek-aspek mutu yang akan dilindungi yaitu mutu produk pengolahan dan pada kondisi penyimpanan.
Winarno dan Jenie (1982) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan sehubungan dengan kemasan yang digunakan dapat dibagi dalam dua golongan utama yaitu ; 1) kerusakan yang sangat ditentukan oleh sifat alamiah dari produk sehingga tidak dapat dicegah dengan pengemasan saja (perubahan-perubahan fisik, biokimia dan kimia serta mikrobiologis), 2) kerusakan yang tergantung pada lingkungan dan hampir seluruhnya dapat dikontrol dengan kemasan yang digunakan (kemasan mekanis, perubahan kadar air bahan pangan, absorpsi dan interaksi dengan oksigen, kehilangan dan penambahan cita-rasa yang diinginkan). Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan dapat pula mempengaruhi mutu antara lain; perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat dari bahan kemasan (monomer plastik, timah putih, korosi) dan perubahan aroma, warna, tekstur dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen.
Pengemasan pada Daging
Pengemasan termasuk salah satu cara preservasi daging dan daging proses yang hampir tidak dapat diabaikan. Fungsi utama dari pengemasan adalah untuk melindungi daging dari kerusakan yang terlalu cepat, baik itu karena perubahan kimia maupun kontaminasi mikrobial, serta untuk menampilkan produk dengan cara yang menarik. Pengemasan tidak memperbaiki kualitas tetapi hanya untuk mempertahankan atau memperlambat kerusakan produk selama penyimpanan. Pengemasan harus tidak mempengaruhi kualitas produk. Tipe produk, metode prosessing dan metode pemasaran mempunyai pengaruh terhadap tipe pengemasan yang diperlukan (Syarief,dkk, 1989).
Warna normal daging segar dengan adanya oksigen adalah merah cerah atau terang, karena oksimioglobin mendominasi permukaan daging. Pengemasan daging segar dapat menggunakan material pengemasan yang tembus oksigen. Pemeliharaan warna daging proses, pada dasarnya tidak tergantung pada oksigen karena bersifat anaerobik tapi tergantung pada nitrit oksida mioglobin. Pengemasan untuk daging peram digunakan yang tidak tembus oksigen (Soeparno, 2005).
Pengemasan daging dengan menggunakan material yang tembus cairan atau uap cairan dan penyimpanan pada kelembaban rendah dapat menyebabkan perubahan warna daging menjadi gelap. Warna gelap ini ditimbulkan karena konsentrasi pigmen daging pada permukaan jaringan mengalami dehidrasi atau desikasi. Seperti halnya daging beku atau dingin yang tidak dikemas, pengemasan yang tembus uap air akan menyebabkan warna daging beku atau dingin menjadi putih keputih-putihan atau coklat kekuning-kuningan. Material pengemasan yang tahan cairan atau uap air dan teknik pengemasan yang baik dengan menghindarkan kemungkinan timbulnya ruang-ruang kosong di dalam pengemasan, perlu diusahakan untuk melindungi daging dari perubahan kualitas termasuk warna selama penyimpanan beku atau dingin. Bau dan flavor yang tidak diinginkan dapat berkembang selama penyimpanan dingin karena kontaminasi sebelum pengemasan atau refrigerasi yang tidak memadai. Selama penyimpanan juga dapat terjadi perubahan tekstur, keempukan dan jus daging jika pengemasan yang digunakan tidak tahan terhadap air atau uap air (Soeparno, 2005).

Kemasan Plastik PE (Polyethylen)

Menurut Dwiari (2008) bahan pengemasan dikelompokkan menjadi empat, yaitu ; 1) Keramik, yang termasuk dalam kelompok jenis ini adalah bahan-bahan dari gelas, dan keramik, 2) Logam, termasuk plat/lempengan timah (tinplate), aluminium, 3) Bahan alami (dari tanaman), seperti: kayu, serat tanaman dan karet, dan 4) Plastik.
Plastik adalah suatu polimer yang mempunyai sifat-sifat unik dan luar biasa. Polimer adalah suatu bahan yang terdiri dari unit molekul yang disebut monomer. Jika monomernya sejenis disebut homopolimer, dan jika monomernya berbeda akan menghasilkan kopolimer (Mujiarto, 2005).
Plastik dibuat dengan cara polimerisasi yaitu menyusun dan membentuk secara sambung menyambung bahan-bahan dasar plastik yang disebut monomer. Di samping bahan dasar berupa monomer, di dalam plastik juga terdapat bahan non plastik yang disebut aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat plastik itu sendiri. Bahan aditif tersebut berupa zat-zat dengan berat molekul rendah, yang dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap sinar ultraviolet, anti lekat, dan masih banyak lagi (Anonim, 2009). Ditambahkan oleh Syarief, dkk (1989) Komponen utama plastik sebelum membentuk polimer adalah monomer, yakni rantai yang paling pendek. Polimer merupakan gabungan dari beberapa monomer yang akan membentuk rantai yang sangat panjang. Bila rantai tersebut dikelompokkan bersama-sama dalam suatu pola acak, menyerupai tumpukan jerami maka disebut amorp, jika teratur hampir sejajar disebut kristalin dengan sifat yang lebih keras dan tegar.
Kemasan plastik banyak digunakan dengan pertimbangan bahan tersebut mudah dibentuk sesuai dengan keinginan, tidak bersifat korosif (mudah berkarat), tidak memerlukan penanganan khusus. Dalam dunia perdagangan dikenal ada plastik khusus untuk mengemas bahan pangan (food grade) dan plastik untuk mengemas bahan bukan pangan (non-food grade). Oleh karena itu, bila akan memilih plastik untuk mengemas bahan dan produk pangan maka harus dipilih yang food grade (Dwiari, 2008).
Secara garis besar, plastik dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu plastik thermoplast dan plastik thermoset. Plastik thermoplast adalah plastik yang dapat dicetak berulang-ulang dengan adanya panas. Yang termasuk plastik thermoplast antara lain : PE, PP, PS, ABS, SAN, nylon, PET, BPT, Polyacetal (POM), PC, dan lain-lain. Sedangkan plastik thermoset adalah plastik yang apabila telah mengalami kondisi tertentu tidak dapat dicetak kembali karena bangun polimernya berbentuk jaringan tiga dimensi. Yang termasuk plastik thermoset adalah : PU (Poly Urethene), UF (Urea Formaldehyde), MF (Melamine Formaldehyde), polyester, epoksi dan lain-lain (Mujiarto, 2005).
Menurut Syarief, dkk (1989) bahwa kemasan yang biasa digunakan untuk daging segar adalah plastik PE (Polyethylen). PE merupakan plastik tipis bersifat fleskibel yang diperoleh dengan penambahan bahan-bahan plastik. Hal ini didukung oleh pendapat Dwiari (2008) bahwa Polyethylen merupakan film yang lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan serta kekuatan sobek yang baik. Dengan pemanasan akan menjadi lunak dan mencair pada suhu 110oC. Berdasarkan sifat permeabilitasnya yang rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang baik, polyethylen mempunyai ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan, karena sifatnya yang thermoplastik, polyethylen mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik.
Menurut Syarief, dkk (1989) Polyethylen memiliki sifat: 1) Penampakan bervariasi, dari transparan hingga keruh, 2) Mudah dibentuk, lemas dan mudah ditarik, 3) Daya rentang tinggi tanpa sobek, 4) Meleleh pada suhu 120oC, sehingga banyak digunakan untuk laminasi dengan bahan lain, 5) Tidak cocok untuk digunakan mengemas bahan berlemak atau mengandung minyak, 6) Tidak cocok untuk mengemas produk beraroma karena transmisi gas cukup tinggi, 7) Tahan terhadap asam, basa, alkohol dan deterjen, 8) Dapat digunakan untuk menyimpan bahan pada suhu pembekuan hingga -50o C dan 9) Kedap air dan uap air.

pH Daging

Menurut Ratna (2008) bahwa konsentrasi ion H+ dalam larutan disebut derajat keasaman (pH). Rumus pH dituliskan sebagai berikut :
pH = – log [H+]
Atas dasar pengertian ini, maka jika pH = 7, maka larutan bersifat netral, jika pH 7, maka larutan bersifat basa
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Kualitas karkas dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi pH daging. pH merupakan salah satu faktor penentu kualitas karkas daging (Soeparno, 2005).
Suatu pH daging tidak dapat diukur segera setelah pemotongan (biasanya dalam waktu 45 menit) untuk mengetahui penurunan pH awal. Pengukuran selanjutnya biasanya dilakukan setidak-tidaknya setelah 24 jam untuk mengetahui pH akhir dari daging atau karkas (Soeparno, 2005).
Menurut Lawrie (2003) bahwa pH pascamati akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila glikogen terdeplesi karena lelah, kelaparan atau takut pada hewan sebelum dipotong. Hal ini didukung oleh pendapat Soeparno (2005) bahwa penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah antara 5,4– 5,8. Stress sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan (kimiawi) tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging.
Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pemotongan dan stress sebelum pemotongan (Soeparno, 2005).
Menurunnya pH dalam otot akibat asam laktat merupakan salah satu perubahan yang paling penting terjadi dalam otot selama menjadi daging. Perkembangan kondisi asam (pH rendah) dalam otot, sebelum panas tubuh alami dan panas dari metabolisme lanjut dihilangkan melalui pendinginan karkas menyebabkan denaturasi protein otot. Tingkat denaturasi ini tergantung pada tingginya temperatur dan rendahnya pH otot (Lawrie, 2003).
Penelitian yang dilakukan Hafriyanti (2008) dan Syam (2006) membandingkan daging sapi yang dikemas dengan plastik PE (Polyethylen) dengan tanpa kemasan. Penelitian Hafriyanti (2008) mengambil sampel daging sapi segar bagian paha (topside) seberat 1 kg dari RPH Kota Pekanbaru. Daging tersebut kemudian dipotong-potong dengan ukuran 9 cm x 9 cm x 4 cm lalu penelitian Syam (2006) mengambil sampel otot semitendinosus. Daging dipotong dengan ukuran panjang 5 cm, lebar 5 cm dan tinggi 4 cm, kemudian sampel daging dipisahkan menjadi 2 perlakuan pengemasan, yakni : 1) daging tanpa kemasan, 2) daging dikemas dengan plastik PE. Penelitian Hafriyanti (2006) sampel kedua daging yang telah mendapatkan perlakuan tersebut dititipkan pada pedagang di Pasar Arengka Kota Pekanbaru selama 6 jam dan penelitan Syam (2006) sampel daging yang telah mendapatkan perlakuan pengemasan dimasukkan ke dalam lemari pendingin dengan suhu ± 2oC dan disimpan selama 3 hari, 7 hari dan 11 hari kemudian dilakukan pengukuran pH daging. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Hafriyanti (2008) bahwa penggunaan plastik kemasan PE (Polyethylen) sebagai pengemas daging dapat menurunkan pH daging. Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Syam (2006) bahwa pengemasan plastik PE dapat menaikkan pH daging sapi. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Rata-rata pH Daging Sapi pada Perlakuan Kemasan PE dan Tanpa Kemasan

Perlakuan pH Daging
A B
Tanpa Kemasan 6.29a 6.33a
Dikemas dengan Plastik PE 5.87b 6.40b
Keterangan : A :Hafriyanti, 2008.
B : Syam, 2006.
Hasil penelitian Hafriyanti (2008) menunjukkan bahwa pH daging sapi pada perlakuan tanpa kemasan sangat nyata lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan pH daging sapi pada perlakuan dikemas plastik PE. Ini menunjukkan bahwa kemasan plastik PE (Polyethylen) dapat menurunkan pH daging sapi. pH daging sapi yang didapatkan dari penelitian ini berbanding lurus dengan total koloni bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah pH daging sapi, semakin sedikit jumlah koloni bakteri.
Hasil penelitian yang dipeoleh Syam (2006) yang diperoleh menunjukkan bahwa kemasan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai pH. Nilai pH menunjukkan daging dengan perlakuan kemasan PE lebih rendah dibandingkan daging tanpa kemasan (Tabel 1). Daging yang dikemas PE menunjukkan penampakan yang lebih basah diakibatkan air yang berasal dari daging tidak dapat keluar akibat adanya kemasan. Akumulasi air yang mungkin mengandung sejumlah komponen bersifat basah dapat menyebabkan nilai pH daging yang dikemas lebih rendah dibandingkan yang tidak dikemas.
Menurut Buckle, dkk (1987) pH akhir yang tercapai mempunyai pengaruh yang berarti dalam mutu daging. pH tinggi (5.1 – 6.1) menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka sehingga sangat baik untuk pengasinan, berwarna merah cerah sehingga disukai oleh konsumen, mempunyai flavor yang lebih disukai dan mempunyai stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan oleh mikroorganisme. pH rendah (6.2 – 7.2) menyebabkan daging mempunyai struktur tertutup atau padat dengan warna merah ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang lebih memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme.

Susut Masak Daging

Susut masak adalah berat yang hilang atau penyusutan berat sampel daging selama pemasakan yang sering disebut cooking loss dan merupakan fungsi dari lama waktu dan temperatur pemasakan yang dapat dipengaruhi oleh pH, panjang potongan serabut otot, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging. Daging yang mempunyai kualitas baik, persentase kehilangan berat daging pada waktu dimasak lebih kecil dibandingkan daging berkualitas rendah (Soeparno, 2005).
Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara serabut otot. Jus daging yaitu banyaknya komponen dari tekstur yang ikut menentukan keempukan daging. Pada umumnya makin tinggi suhu pemasakan, makin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat konstan (Soeparno, 2005).
Sebagian besar air dalam daging ada pada myofibril yaitu antara filamen-filamen. Perebusan daging pada suhu 64oC – 900C mengakibatkan jaringan epimisium dan endomisium serta akhirnya myofibril akan menyusut hingga mengakibatkan keluarnya cairan daging (Cooking loss) (Lawrie, 2003).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan lelehan dari daging yang dimasak juga dapat digunakan untuk kapasitas memegang air dari daging yang dimasak. Kehilangan yang disebabkan oleh pengerutan pada waktu pemasakan akan lebih besar jumlahnya. Pemasakan dengan suhu tinggi menyebabkab denaturasi protein dan banyak menurunkan kapasitas memegang air. Penurunan pH akhir urat daging akan menurunkan kehilangan (bagian utamanya), yang disebabkan oleh tereksudasinya cairan. Cepatnya penurunan pH akan meningkatkan kehilangan cairan pada waktu memasak (Lawrie, 2003).
Penelitian yang dilakukan Hafriyanti (2008) dan Syam (2006) melihat hubungan antara susut masak sebagai indikator nilai nutrisi daging pada pengaruh kemasan plastik PE (Polyethylen) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Rata-rata Susut Masak Daging Sapi pada Perlakuan Kemasan PE dan Tanpa Kemasan

Perlakuan Susut Masak Daging
A B
Tanpa Kemasan 6.29a 6.33a
Dikemas dengan Plastik PE 5.87b 6.40b
Keterangan : A :Hafriyanti, 2008.
B : Syam, 2006.
Hasil penelitian Hafriyanti (2008) menunjukkan bahwa penggunaan plastik PE sebagai pengemas daging nyata (P<0.05) dalam menurunkan persentase susut masak daging sapi. Susut masak daging sapi pada perlakuan tanpa kemasan nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan perlakuan dikemas dengan plastik PE.
Hasil diatas menunjukkan kemasan berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap susut masak. Nilai susut masak daging menunjukkan persentase kehilangan berat daging dengan perlakuan tanpa kemasan lebih kecil atau sedikit dibandingkan dengan yang dikemas PE (Tabel 2). Hal ini berarti daging tanpa kemasan lebih baik dibandingkan daging yang dikemas PE. Hal ini disebabkan kemampuan daging yang tanpa kemasan dalam mengikat atau mengabsorpsi air lebih tinggi sehingga kehilangan berat selama pemasakan menjadi berkurang (Syam, 2006). Lawrie (2003) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak adalah besarnya cairan yang keluar dari daging dan faktor yang berhubungan dengan daya ikat air.
Susut masak daging sapi dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air. Semakin tinggi daya ikat air, semakin rendah kadar air daging sapi. Hal ini diikuti oleh turunnya persentase susut masak daging sapi. Rataan susut masak daging sapi yang didapatkan dari penelitian ini menurun sebanding dengan penurunan kadar air. Daging yang mempunyai susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah (Hafriyanti, 2008).

KESIMPULAN

Berdasarkan penelusuran pustaka dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai pengaruh kemasan plastik PE (Polyethylen) terhadap kualitas daging sapi, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan daging yang dikemas plastik PE (Polyethylen) dan tanpa kemasan yang disimpan di tempat terbuka (suhu kamar) menunjukkan bahwa kemasan plastik PE dapat menurunkan pH dan susut masak.
2. Sedangkan daging yang dikemas plastik PE (Polyethylen) dan tanpa kemasan yang disimpan di lemari dingin dengan suhu ±2oC menunjukkan bahwa kemasan plastik PE dapat menaikkan pH dan susut masak.

DAFTAR PUSTAKA


Anonim, 2006. Bahaya Di Balik Kemasan Plastik. http://www.ebookpangan.com. Diakses pada 2 Oktober 2009.
Buckle, K.A, Edward, R.A, Fleet, G.H, Wooton M., 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press (UI-Press), Jakarta.
Dwiari, S.R., 2008. Teknologi Pangan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Diakses pada 5 Oktober 2009.
Hafriyanti, Hidayati dan Elfawati., 2008. Kualitas Daging sapi dengan Kemasan Plastik PE (Polyethylen) dan Plastik PP (Polypropylen) Di Pasar Arengka Kota Pekanbaru. Jurnal Peternakan Vol. 5 No. 1 Februari 2008 (22 – 27). Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Sultan Syarief Kasim Riau, Pekanbaru.
Khatimah, K., 2008. Studi Tentang Tingkat Permintaan Daging Segar dan Daging Olahan (Corned, Sosis, Dendeng) di Supermarket Kodya Malang. http://digilip.itb.ac.id. Diakses pada 2 Oktober 2009.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Penerbit Universitas Indonesia Press (UI-Press), Jakarta.
Lukman, D.W., 2008. Daging dan Produk Olahannya. http://higiene-pangan.blogspot.com. Diakses pada 29 September 2009.
Mujiarto, 2005. Sifat dan Karakteristik Material Plastik dan Bahan Aditif. Jurnal Traksi Vol. 3. No. 2, Desember 2005, Jakarta.
Petrisic, A. 1969. Packaging and Packaging Materials. UNIDO, Food Industry Studies No.5. United Nations, New York.
Ratna, 2008. Kimia. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Soeparno, 2005. Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suyitno dan Kamarijani., 1995. Dasar-Dasar Pengemasan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rineka Cipta, Jakarta.
Syam, S.Y, 2006. Pengaruh Pengemasan dan Lama Maturasi Terhadap pH, Daya Ikat Air dan Susut Masak Daging Sapi Bali. Skripsi Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Syarief, R.S., Santausa Dan St.B. Isyana., 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Rachmawan, O., 2001. Penanganan Daging. Departemen Pendidikan Nasional Proyek Pengembangan Sistem dan Standar Pengelolaan SMK. Direktorart Pendidikan Menengah Kejuruan, Jakarta. Diakses 29 September 2009.
Winarno, dan B.S.L. Jenie. 1982. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara Pencegahannya. Ghalia Indonesia, Jakarta.